Jumat, 15 Maret 2013

Makna Dibalik Kata Kosong


Suatukali, saat saya menghabiskan waktu diteras belakang rumah saya, sambil baca buku dan sayup sayup mampir ditelinga saya lagu Ungu, kalau gak salah judulnya “Hampa” dan kalo gak salah lagi, syairnya "Pernah kah kau merasa, Hatimu Hampa … Pernah kah kau merasa, Hatimu ", jiwa saya terusik dengan kata kosong, pengertian kosong adalah tanpa isi, kosong adalah tak memiliki siapa siapa dan apa apa, kosong adalah hampa, kosong adalah nol koma nol, kosong adalah jomblo  hahaha…

Kosong bagi sebagian orang memang bermakna negatif, identik dengan semua yang tidak menyenangkan. Kosong itu menyiksa, hampa itu menakutkan, tiada itu mengerikan. Dan memang begitu adanya, jika alat ukur yang digunakan hanyalah apa yang terlihat oleh mata, namun pernahkan terbayang jika alam semesta ini semua terisi yang terlihat, pohon, mobil, gunung,  bahkan udarapun tidak memiliki tempat untuk bersemayam? Lalu apa yang akan kita hirup untuk menyambung hidup?

Bagi saya pribadi kosong itu adalah isi, kosong adalah sebuah ruang yang sangat saya butuhkan, saya butuh jiwa yang kosong agar saya dapat mengisinya, melempar kesombongan dijiwa saya agar saya dapat mengisi jiwa saya dengan ilmu, jika kesombongan mengisi jiwa saya, bagaimana saya bisa menerima ilmu baru?
acap kali belajar saya harus memulai dari kata bahwa saya tidak tahu apa apa, karena ketika diawal belajar saya sudah merasa penuh, merasa sudah bisa, maka yang diajarkan oleh guru mengaji saya akan saya anggap tiada ”ah kalau cuma begitu ogut juga bisa” jadi kosong adalah waktunya untuk mengisi.

Saya pernah berada pada satu titik jenuh, titik merasa hidup hanya ini ini saja, gak maju, mati tak mau hidup juga enggan, lalu saya merenung, mau sampai kapan saya berada dititik penat ini, saya sadari kemudian saya merasa begitu karena saya penuhi jiwa saya dengan keinginan keinginan dunia yang tanpa ujung, keinginan dunia memang gak ada ujungnya dan itu saya pikirin bodohnya saya, membiarkan kepenatan ini berlabuh, bagaimana saya bisa memikirkan akhirat jika jiwa saya penuh oleh keinginan dunia, sesak berdesakan.

Pernah saya berada pada satu kondisi rasanya hidup saya koq hanya pindah dari satu masalah ke masalah yang lain, “derita koq gak ada akhirnya” pikiran yang kacau kan? itu karena saya sok pinter, merasa hebat, merasa diri saya TUHAN, mencoba menyelesaikan masalah sendiri, tanpa berbagi dengan ALLAH yang maha menyelesaikan masalah, saya lupa mengadu, saya lupa curhat dengan ALLAH sok sok an sih saya, akhirnya penat sendiri, maka kosong menjadi begitu indah ketika penat dunia saya tukar dengan kasih sayang ALLAH ditengah malam yang juga kosong dari hiruk pikuk dunia :)
“Ya ALLAH, saya terima ujian ini dan saya kembalikan semua padaMU karena ENGKAU lah pemilik segala jalan keluar”
enteng kan … inilah kosong yang indah.

Dan biarlah kosong  “Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?” gimana membacanya kalau tak ada spasi bagaimana jiwa saya bisa mengingat ALLAH jika tidur saja saya memikirkan dunia, memikirkan uang tinggal berapa didompet, memikirikan sang kekasih yang gak mikirin saya, duh ruginya waktu terbuang!! memang harus kosong dari urusan dunia, agar urusan akhirat bisa masuk. Jiwa manusia itu memang unik. Ketika sudah ‘penuh’ yang terjadi adalah kejenuhan, saat itulah perlu ‘dikosongkan’. Ketika sudah kosong, tidak bisa dibiarkan terlalu lama. Harus diisi kembali.Mau dibawa kemana hidup ini, mau diisi dengan apa, dan untuk mengisinya maka harus kosong dulu, gak akan bisa karena jiwa juga punya kapasitas maximal.

Kata sahabat saya yang penulis, para penulis adalah orang-orang yang sehat jiwanya. Sebab dalam diri penulis terjadi siklus ‘mengisi-mengosongkan’ yang kontinyu. Jiwanya selalu ‘baru’, menulis ilmu mengosongkan ilmu agar dapat masuk ilmu baru dengan membaca, belajar lagi … menulis suara hati akan melegakan hati, begitu katanya.

Kosong adalah isi, selalu kosongkan bagi dengan yang lain, berbagilah dengan pemilik jiwa dan rasanya memang hidup akan enteng kembali, ketika setiap kita menjadikan tahajud sebagai sarana pengosongan jiwa, terbayang gak pagi berikutnya kita akan hidup dengan jiwa yang tenang dan indah.

Verie Huthasoit

0 komentar:

Posting Komentar